Matius 22:37-40 Mengasihi Diri Sendiri Dalam Sang Kebenaran
Matius 22:37-40 Mengasihi Diri Sendiri Dalam Sang Kebenaran
Oleh Jefta Andela Christy
Matius 22:37-40 (TB) Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akau budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yag kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.
Paulus Washer dalam kotbahnya mengungkapkan, “masalah kita bukanlah karena kita kurang cinta kepada diri sendiri, namun permasalahannya adalah kita sudah terlalu berlebihan untuk mencintai diri kita sendiri.” Faktanya cinta kita kepada diri sendiri, bagaikan ilalang yang tumbuh di ladang. Ia secara alami tumbuh dan jika diabaikan maka akan merusak setiap gandum yang juga sedang tumbuh.
Jadi kecintaan pada diri sendiri haruslah berdasarkan kebenaran. Yesus yang telah disalibkan, memberikan kepada kita definisi dari cinta kepada diri sendiri. Yaitu taat sampai mati dan melayani orang-orang yang membenci dia, memusuhi Dia dan tidak ingin Ia hadir dalam kehidupan mereka.
Tanpa diperintahkan pun manusia akan mengasihi dirinya sendiri sebenarnya sudah natur manusia, ia akan mengasihi dirinya. Bagaimana dengan yang terlihat membenci dirinya? Pada dasarnya, manusia tidak pernah membenci dirinya, ia hanya saja sedang menginginkan diri yang lebih cocok sesuai ekspetasinya, maka seolah-olah ia membenci dirinya yang saat ini, padahal ada jenis diri yang ia cintai. Maka kebencian itu pun wujud dari cinta diri yang salah dan tidak berdasarkan kebenaran.
Saya mengajak Anda untuk melihat. Bagaimana Yesus mencabut ilalang di dalam diri kita, mencabut kasih yang tidak berdasarkan kebenaran. Lalu membawa kita pada kasih yang berdasarkan kehidupan kita yang ada di dalam Dia. Yesus merangkumkan 10 hukum yang ada di dalam Perjanjian Lama. Yaitu, menyerukan kepada Anda dan saya hari ini untuk; mengasihi diri dengan cara yang benar, yaitu dimulai dengan mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.
Kasih manusia itu sangat-sangat rapuh yang menjadi bukti rapuhnya cinta manusia karena cinta dari manusia yang berdosa pasti bersyarat. Kita mencintai dan berharap orang yang kita cintai akan membalas cinta kita. karena cinta di luar kasih karunia, merupakan cinta yang berpusat pada kenyamanan perasaan dan pikiran yang berdosa, pusat dari penyembahan berhala.
Kasih manusia yang bersyarat ini sama dengan diskon yang ada di pertokoan. Untuk mendapatkan diskon tersebut, tentu ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya dengan menerapkan minimum pembelanjaan sebesar 300 ribu, barulah kita akan mendapatkan diskon. Namun jika kita tidak memenuhi syarat tersebut, kita tidak bisa mendapatkan diskon yang ditawarkan.
Inilah yang terjadi ketika kita mengasihi. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku bagi mereka untuk mendapatkan kasih dan penerimaan lebih dari kita. Yang lebih parahnya lagi, hal ini juga berlaku dalam rumah tangga. Seorang suami memiliki syarat untuk menerima isterinya, demikian juga pula sebaliknya. Istri memiliki standar-standar tertentu untuk diberlakukan kepada suaminya.
Karena bagaimanapun kasih kita terhadap Tuhan, diri sendiri, dan sesama itu sudah tercemar oleh dosa. Kita tidak boleh memiliki pemahaman jika diri kita sendiri mampu untuk mengasihi diri kita sendiri. kita harus melihat pada realitanya kasih pada diri sendiri pasti akan membawa kita pada kebinasaan kekal.
Kita adalah orang berdosa yang kehilangan kemuliaan Allah, tanpa kasih Allah dan kita dimampukan mengasihi Allah, maka selamanya kita ada dalam murka kekal Allah dan ini menyedihkan. Injil membawa kita pada kasih yang benar akan diri sendiri, yaitu kasih Allah yang satu-satunya, yang mengerti cara mengasihi kita, jiwa yang mati dibangkitkan dan dihiduplam untuk kudus, bagi-Nya.
Matius 22:37-40 pada dasarnya rangkuman dari penjelaskan 10 Hukum (Keluaran 20:1-17). Di mana hukum 1-4 merupakan hubungan antara Manusia dengan Tuhan. Di mana Allah tidak ingin adanya hal lain di hati manusia, berhala-behala, termasuk berhala di mana manusia menyembah dirinya sendiri. dengan rasa cinta yang berdosa kepada diri sendiri, yang membuahkan keserakahan, egosentris dan tidak akan puas dengan segala hal yang ada di dunia pada akhirnya kebinasaan.
Lalu hukum yang ke dunia merupakan rangkuman dari hukum 5-10, ini berbicara tentang hubungan Manusia dengan Sesamanya. Untuk hidup di dalam hukum ini secara sempurna, hanya ketika Anda dan saya ada di atas kayu salib, mati bersama-sama dengan Kristus. Salib secara horizontal dan vertical, memberikan pengertian yang utuh. Tentang perbaikan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan sesama manusia.
Hukum ini diberikan oleh bangsa Israel, setelah kaluar dr tanah perbudakan? Artinya mereka mendapatkan kasih Karunia dari Allah untuk menjadi umat-Nya. Karena selama masa perbudakan mereka tidak bisa mengasihi dirinya sendiri.
Kita dibebaskan oleh Musa sejati yang telah disalibkan, jika Musa dengan tongkat-Nya, maka Kristus membebaskan kita dari kutuk dosa. Dengan memberikan diri-Nya menjadi dosa di atas salib dan sangat menderita. Ia menerima murka kekal Allah Bapa dan inilah esensi dari Injil, Yesus disalibkan, untuk mengembalikan kita pada kasih yang benar, sehingga kita hidup penuh kasih, kasih yang dari Allah kepada kita dan kita benar-benar dipuaskan di dalam Dia.
Allah mengikat diri dengan bangsa Israel melalui sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut berisi tindakan penyelamatan yang dilakukan Tuhan kepada Israel. Bangsa Israel dituntut untuk mentaati seluruh perjanjian tersebut. Bukan hanya sebagai sebuah kewajiban saja, melainkan sebagai suatu ketaatan akan kebaikan Tuhan.
Hukum kasih kepada Allah dan sesama sebagaimana yang terdapat dalam Matius 22:37-40 ini, juga terdapat dalam Perjanjian Lama, yaitu Ulangan 6:4-5 dan Imamat 19:18; 34. Allah mendambakan persekutuan dengan umat-Nya dan memberikan mereka satu perintah yang sangat perlu ini untuk mengikat mereka kepada-Nya.
Dengan menanggapi kasih-Nya dengan kasih, rasa bersyukur, dan kesetiaan (Ul. 4:37), mereka akan mengenal dan bergembira karena Dia dalam hubungan perjanjian. Pada "perintah yang utama dan pertama" ini bersamaan dengan perintah yang kedua untuk mengasihi sesama manusia (Im. 19:18), tergantunglah seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat. 22:37-40)
Dua kalimat penting yang akan memperdalam pemahaman kita, tentang kasih yang benar kepada diri sendiri. Kasih yang berdasarkan kasih Kristus. Pertama, marilah kita memberikan seluruh kehidupan kepada Allah dan yang kedua, baiklah buah kehidupan yang ada di dalam Kristus terpancar nyata bagi sesama kita.
1. Memberikan hati, jiwa, dan akal budi untuk dikasihi oleh Tuhan
Kasih atau cinta selalu bermula dari Allah, seperti yang dituliskan dalam 1 Yohanes 4:19, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Termasuk mengasihi diri kita sendiri, hal ini juga berawal dari Tuhan, karena Dia telah mengasihi kita terlebih dahulu.
Kita harus menyadari terlebih dahulu bahwa karena kasih-Nya kepada kita. Yesus datang ke dunia ini, menderita, mati di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga untuk menebus kita dari dosa sehingga kita tidak binasa melainkan menerima hidup yang kekal (Yohanes 3:16).
Kita harus berani menentang natur kita, karena pada dasarnya kita menolak untuk dikasihi Allah maka dalam hal ini jika kita mau mengasihi diri kita kita harus terlebih dahulu memberi diri kita untuk dikasihi oleh Allah. Menolak kasih Allah, ini menjadi natur kita dan hal ini terlihat jelas dari keraguan hati kita yang seringkali tidak meragukan kekuasaan Allah. Kita tidak ingin kehidupan kita diserahkan untuk melayani Dia, karena kita tidak ingin hidup kita di bawah kendali-Nya.
Relasi yang hanya mungkin karena Allah terlebih dahulu menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus Kristus. 18 Dalam Matius 22:37-40 di atas, Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang percaya harus mengasihi Allah terlebih dahulu dengan segala keberadaan dirinya. Kata “agapao” ini kontras dengan emosi, kasih sayang yang lembut (phileo) dan kasih secara fisik (eros). Kata “agapao” dalam bahasa Ibrani menggunakan kata “aheb” dalam Ulangan 6:5, yang menunjuk pada kasih yang mengetahui dan memilih untuk mengikuti apa yang benar. Sehingga frase ini memiliki arti mengasihi Tuhan tanpa syarat.
Kata ini menegaskan bahwa mengasihi Allah harus dengan totalitas eksistensi orang percaya sebagai manusia yang telah dibenarkan oleh korban Kristus di kayu salib. Perintah untuk mengasihi merupakan sebuah panggilan sebagai komitmen sukarela kepada Allah yang bersifat pribadi, komprehensif, dan sepenuh hati.
Hal ini ditekankan dengan pengulangan kata “dengan” yang menunjukkan sumber, “semua”, “kamu” (bentuk singular) serta berbagai istilah yang berkaitan dengan kepribadian manusia - hati (pusat kendali), jiwa (kehidupan sadar diri), pikiran (kapasitas berpikir), dan kekuatan (kekuatan fisik). Teks Ibrani tidak menyebutkan "pikiran", sedangkan teks dalam Septuaginta menghilangkan kata "hati", tetapi Yesus memasukkan kedua istilah tersebut untuk menekankan sifat komprehensif dari perintah.22 Dengan aspek-aspek penting kasih, pengetahuan yang tepat dan penuh kasih dapat dipamerkan ketika seseorang mengasihi Allah.
Dalam hal mengasihi Allah, seseorang menunjukkan bahwa ia dikenal oleh Allah dan Allah mengenalnya sebagai milik-Nya. Dengan demikian dia memiliki pengetahuan yang benar (ayat 3).23 Singkatnya, orang yang melihat Allah, berpikir tentang Allah sepanjang waktu, pikirannya terus tertuju kepada Allah, mengakui Dia dalam segala jalannya. Dia memulai segala sesuatu untuk kemuliaan Allah. Mereka inilah yang mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi.
Setelah kamu mengalami kasih Tuhan ini, maka kamu bisa mengasihi dirimu sendiri. Kamu berdamai dengan Tuhan, dengan dirimu, dengan masa lalumu, dan dengan sesamamu. Ketika kita dipuaskan oleh kasih Tuhan maka kita tidak akan gampang dipuaskan dengan hal-hal yang duniawi.
2. Mengasihi sesama manusia
Pernyataan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" bukanlah perintah untuk mengasihi diri sendiri. Ialah hal yang normal untuk mementingkan diri dan mengasihi diri sendiri. Tidak ada kekurangan kasih-diri di dalam dunia ini.
Perintah 'mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri' pada hakekatnya sedang menghimbau kita untuk memperlakukan orang lain dengan cara sama di mana kita memperlakukan diri sendiri. hanya ketika Anda dan saya ada di dalam Kristus maka kita mampu menerapkan kasih yang begitu mendalam ini, kasih yang berasal dari Sang kasih, yaitu Yesus Kristus.
Firman tidak memerintah kita untuk mengasihi diri sendiri; tetapi mengasumsikan bahwa kita sudah mengasihi diri. Faktanya ialah bahwa manusia yang belum lahir baru mengasihi dirinya sendiri terlalu banyak - dan itulah masalahnya.
Frase ini memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan frase “mengasihi Tuhan” di atas, yaitu mengasihi sesama dengan kasih tanpa syarat pula.24 Ayat 39 ini dikutip dari Imamat 19:18 yang tertulis: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah Tuhan.”
Hal ini berarti bahwa tindakan mengasihi Allah dan sesama adalah dua hal yang sama dan harus dilakukan oleh orang percaya. Sebab orang yang mengasihi Allah harus memiliki kasih juga kepada sesama, sebaliknya barangsiapa yang tidak mengasihi sesama maka ia tidak memiliki kasih kepada Allah juga (1 Yoh. 4:20-21).
Kehidupan spiritualitas setiap pribadi orang percaya mendapat konteksnya di dalam sebuah komunitas orang percaya. Kehidupan spiritualitas yang dihidupi secara sendirian dan terisolasi dari sebuah komunitas adalah bukan manifestasi kehidupan spiritualitas Kristen yang benar.
Karena kehidupan spiritualitas yang seperti itu dapat memunculkan sikap egois, sombong, serta memunculkan sikap ketidakpedulian terhadap sesamanya. Kasih tidak dapat diekspresikan jika tanpa adanya komunitas; dan kasih yang tidak diekspresikan maka kasih itu tidak berfungsi.
Jadi, pada bagian ini kita memahami dengan benar bahwa ada nilai kesetaraan antara rasa kasih kepada diri sendiri dan kasih kepada sesama. Atau lebih tepatnya, cara kita memperlakukan diri sendiri harus sama dengan cara memperlakukan orang lain.
Pikiran – Menganggap orang lain adalah diri sendiri.
Mengasihi itu dimulai dari dalam pikiran sendiri. Pikiran yang telah diubahkan oleh Injil, pikiran yang berpusat pada Kristus, kebenaran-Nya. Sehingga setiap kasih yang Anda dan saya pancarkan adalah kasih Kristus.
Kita perlu kasih kepada sesama lewat berbagai buah-buah pemikiran yang mungkin saja hanya diketahui diri sendiri dan tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini dimulai dari doa, apa yang kita mohonkan kepada Tuhan untuk diri sendiri, sudah selayaknya kita mohonkan juga agar terjadi dalam kehidupan orang lain.
Baiklah doa kita berfokus pada kehidupan rohani, orang-orang yang kita kasihi. Bawalah mereka ke hadapan Allah, untuk dibentuk oleh Allah, kita perlu menangisi orang-orang yang kita kasihi, sehingga mereka semakin mengenal Kristus, kita harus berdoa dengan doa yang berpusat pada Allah bagi mereka yang kita kasihi.
Baiklah pikiran yang penuh Injil, tidak lagi berprasangka buruk kepada sesama. Apa yang Anda harapkan untuk diri sendiri, harapkan jugalah bagi sesama manusia, itulah yang namanya kesetaraan. Kita harus memikirkan sesama kita, orang terdekat kita untuk secara serius membawa mereka kepada Kristus, sehingga mereka mengenal Kristus dan semakin mengasihi Kristus.
Tutur sapa – Menegur orang lain seperti berkata-kata kepada diri sendiri.
Kebaikan yang kita perbuat dimulai dari tutur kata yang terucap baik melalui tulisan (lewat media) maupun secara lisan (langsung). Apa yang ingin diperkatakan orang lain seputar diri sendiri, harus kita perkatakan hal yang sama kepada sesama. Meskipun tidak selalu demikian adanya. Jika tidak ingin diabaikan oleh orang lain, jangan mengabaikan seorangpun. Meskipun tidak selalu demikian adanya. Bila tidak mau difitnah oleh siapapun, jangan memfitnah siapapun. Saat tidak suka dimarahi oleh orang lain, hindari memarahi sesama. Meskipun tidak selalu demikian adanya.
Setelah mendoakan kebaikan sesama, tutur kata yang terucap adalah cara sederhana untuk melayani sesama. Anda dapat melakukannya dimulai dari dalam keluarga sendiri lewat ramah-tamah (senyum, sapa, salam, mengucapkan terimakasih, tolong, maaf dan menjadi pendengar yang baik). Ini adalah dasar pengorbanan sekaligus latihan pertama untuk sabar bertahan menjalani rumitnya dinamika kehidupan.
Yang terpenting dari semua apa yang dapat kita berikan kepada sesama. Baiklah hidup kita memberikan Injil secara jelas dan tegas kepada sesama. Melalui tutur sap akita, tidak peduli kita harus dibenci dan tidak diterima. Injil adalah kebenaran yang memang banyak yang tidak menyukainya. Bahkan diri kita sendiri pada awalnya. Namun ketika hati dan pikiran kita dilingkupi oleh kuasa Injil, setiap buah yang akan kita hasilkan adalah buah yang memuliakan Allah, melalui kehidupan, Injil diberitakan dan Allah saja dimuliakan.
Perbuatan – Memperlakukan sesama seperti memperlakukan diri sendiri.
Rasa sayang bisa diwujudkan lewat tindakan nyata yang bisa dilaksanakan di sela-sela kesibukan belajar dan bekerja. Ini suatu kebiasaan yang membutuhkan nilai pengorbanan yang sifatnya lebih nyata. Pada berbagai kesempatan ada banyak tindakan nyata yang bisa kita wujudkan untuk menyatakan kebaikan kepada sesama. Misalnya, membantunya menyelesaikan pekerjaan ketika bagian kewajiban kita telah selesai, melakukan pekerjaan secara bersama, belajar bareng dan masih banyak hal lainnya.
Termasuk di dalam hal ini adalah bekerja lebih keras dari gaji yang diberikan kepada kita. Berbuat baik lewat tindakan nyata dilakukan dengan memberi, baik berupa materi maupun tenaga. Pada satu sisi kehidupan kita juga bisa bermanfaat kepada sesama lewat bakat dan potensi yang kita miliki.
Bisa dikatakan bahwa nilai materi yang anda berikan untuk diri sendiri haruslah sama dengan nilai materi yang diberikan kepada sesama. Terkeculi jikalau memang, orang tersebut tidak membutuhkannya.
Bila kita tidak mampu memberi kepada sesama seperti apa yang diberikan bagi diri sendiri, akan timbullah yang namanya rasa cemburu. Sedang saat kita pilih-pilih kasih kepada sesama, pasti ada rasa dengki di antara yang menerimanya, demikian jugalah halnya ketika kita lebih mencintai diri sendiri dibandingkan orang lain. Sifat egois adalah awal dari tindakan destruktif di dalam masyarakat.
Dengan hati yang dipenuhi kasih Tuhan, meskipun sering kali ada banyak hal yang tidak sejalan dengan keinginan hati. Tetapi, kita dapat mengalahkan keinginan kita sendiri dan meletakkan kepentingan Tuhan di atas kepentingan pribadi.
Kita akan berusaha dengan segenap hati memberikan yang terbaik bagi sesama. Menyelamatkan mereka yang terhilang berapa pun harganya. Benar, tanpa kasih Allah yang menyelimuti hati kita, menyinari mati rohani kita dan mengubahkan arah kehidupan. Mustahil kasih kita ada di dalam kebenaran. Kita akan mendapati kasih yang merusak dan membinasakan diri kita dan sekitar.
Kita tidak akan mau berusaha atau pun bersusah payah untuk orang lain. Itulah sebabnya, kita perlu mengingat, Tuhanlah yang utama, yang pertama dan lebih dari segalanya. Jangan sampai kita terbalik, mengasihi sesama atau bahkan diri sendiri lebih daripada kita mengasihi Tuhan.
Baiklah salib selalu menjadi pengingat kita, betapa kita adalah pendosa besar yang dikasihi dengan kasih yang begitu besar. Kasih itu bukan hanya layak dipercayai, kasih itu layak menerima semua kehidupan kita dan semua pujian dan sembah kita
Saya berdoa, kiranya Allah Roh Kudus, memberikan kepada Anda yang telah merenungkan bersama-sama dengan kami. Artikel ini, Anda semakin mengasihi Yesus dan dengan berani memberikan diri kepada-Nya dan hidup hanya untuk Dia dan memberitakan kemuliaan Allah Injil Yesus Kristus. Amin.
Posting Komentar untuk "Matius 22:37-40 Mengasihi Diri Sendiri Dalam Sang Kebenaran "
Silahkan Berkomentar